Sabtu, 28 Oktober 2017

Persamaan Hammett

Suatu reaksi polar terjadi karena interaksi antara sebuah nukleofil dengan sebuah elektrofil. Kekuatan interaksi dan affinitas reaksi tersebut umumnya dikuasai oleh kekuatan nukleofil dan elektrofil pereaksi. Gugus substituen yang tidak mengalami reaksi namum berlokasi di dekat pusat reaksi mengganggu kekuatan tersebut melalui penarikan elektron atau penyumbangan elektron. Substituen pemberi elektron meningkatkan kekuatan nukleofil (kebasaan) dan menurunkan kekuatan elektrofil (keasaman); hal yang sebaliknya terjadi pada substituen penarik elektron yang akan meningkatkan kekuatan elektrofil dan menurunkan kekuatan nukleofil pereaksi. Pada tahun 1937 Hammett mengusulkan suatu hubungan kuantitatif untuk menghitung pengaruh substituen terhadap reaktivitas molekul, hubungan ini disebut persamaan Hammett.
log k/k0 = ρ ...............(1)
dengan :
k = tetapan hidrolisis ester tersubstitusi meta atau para,
ko = tetapan hidrolisis yang bekaitan dengan senyawa tak tersubstitusi,
σ = tetapan substituen,
ρ = tetapan reaksi.
Persamaan ini menggambarkan pengaruh substituen polar posisi meta atau para terhadap sisi reaksi turunan benzena. Persamaan Hammet tidak berlaku untuk substituen pada posisi orto karena adanya efek sterik, dan juga terhadap turunan alifatik karena pelintiran rantai karbon dapat menimbulkan aksi sterik. Suatu alur log k/ko lawan σ adalah linier, dan kemiringannya adalah ρ. Tetapan substituen σ ditetapkan dengan
                                                     = log k/k0 ...............(2)
dengan Ko menyatakan tetapan ionisasi asam benzoat, dan K adalah tetapan ionisasi turunan asam benzoat. Persamaan 2 mengukur efek polar substituen relatif terhadap hidrogen, efek ini tidak tergantung pada sifat reaksi. Efek induksi dan efek mesomeri keduanya terkandung dalam Persamaan 2. Tetapan reaksi ρ mengukur kerentanan reaksi terhadap efek polar, tetapan ini tergantung pada reaksi.
          Suatu reaksi yang melibatkan muatan positif dalam keadaan transisi akan dibantu oleh substituen pemberi elektron dan nilai ρ akan negatif. Di pihak lain bagi reaksi yang melibatkan penurunan muatan positif atau meningkatan muatan negatif akan dipermudah oleh substituen penarik elektron dan nilai ρ akan positif. Besarnya nilai ρ menunjukkan kepekaan pusat reaksi terhadap efek polar dari substituen dan juga memberikan informasi tentang sifat keadaan transisi yang terlibat dalam reaksi. Kecepatan sejumlah reaksi telah dihubungkan dengan persamaan Hammet, dan beberapa yang lain dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Hammet. Sangat sulit memperkirakan ρ dari kondisi percobaan karena ρ tergantung pada banyak faktor seperti pelarut, sifat gugus pergi, dan sebagainya. Penempatan gugus metilen diantara pusat reaksi dengan cincin aromatik akan menurunkan nilai ρ karena efek polar diteruskan melalui ikatan yang telah bertambah.
          Persamaan Hammet yang telah mengalami perluasan tertentu telah diusulkan . Jaffe menyelidiki sifat penambahan lebih daripada satu gugus kepada cincin aromatik. Jaffe menemukan bahwa nilai σ untuk berbagai gugus dapat dijumlahkan dan hubungan berikut memberikan hasil yang baik.
log k/k0 = ρ Σ ...............(3)
dengan Σσ berarti jumlah nilai-nilai σ dari semua gugus.
Bagi senyawa yang mengandung lebih dari satu cincin benzena, Persamaan 4 berikut ini dapat digunakan untuk menghubungkan hasil-hasil tersebut.
log k/k0 = n ρ ...............(4)
Persamaan Hammett terbukti paling sukses digunakan untuk hubungan kuantitatif antara struktur-struktur senyawa dengan kesetimbangan atau kecepatan reaksi. Akan tetapi teramati pula adanya penyimpangan dari persaman tersebut. Telah ditemukan adanya grafik antara logaritme tetapan kecepatan reaksi lawan σ yang non-linear, diperoleh dari reaksi klorinasi dengan nitrasi benzena tersubstitusi, dan reaksi benzilhalida dengan amina. Tetapan kecepatan reaksi solvolisis meta-substitusi fenildimetilkarbinil klorida memberikan grafik linier terhadap tetapan σ, tetapi parasubstituen menyimpang dari linearitas. Alasan yang paling penting untuk deviasi ini adalah interaksi resonansi antara substituen dengan pusat reaksi.
Nilai σ yang berbeda diperlukan untuk menghubungkan reaktivitas substituen dalam reaksi. Brown dkk. mengusulkan tetapan substituen baru (disimbol σ+) yang bedasarkan pada solvolisis fenilmetilkarbinil klorida sebagai reaksi pembanding. Persamaan Hammet termodifikasi tersebut dinyatatakan sebagai berikut:

Nilai σ+ bagi beberapa substituen jelas bahwa σp+ berbeda dari σp untuk substituen yang bersifat sangat pemberi elektron. Hal ini menggambarkan derajat resonansi yang lebih tinggi antara substituen dengan pusat reaksi bermuatan positif. Hubungan data kecepatan reaksi dengan nilai σ+ juga telah diperoleh dalam sejumlah hal. Reaksi ion karbonium biasanya menghasilkan nilai negatif ρ yang besar dan dipermudah oleh pengusiran elektron.

DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, M. S. 2009. Kimia Organik Fisik I. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Pranowo, D dan Harno. 2007. BAHAN AJAR KIMIA ORGANIK FISIK. Yogyakarta : Jurusan Kimia FMIPA UGM.

Permasalan yang timbul:
Mengapa persamaan Hammet tidak berlaku untuk substituen pada posisi orto?


Rabu, 25 Oktober 2017

KEASAMAN DAN KEBASAAN SENYAWA ORGANIK
Materi kali ini membahas secara detail tentang konsep asam-basa meliputi keasaman hidrogen gugus-gugus oksigen, amonium, dan karbon; kaitan antara sifat keasaman dengan elektrofilisitas, dan antara sifat kebasaan basa dengan nuklefilistas; serta faktor-faktor internal struktur yang mempengaruhi derajat kekuatan suatu spseies kimia organik.
Banyak senyawa organik dan anorganik yang memiliki sifat-sifat asam dan basa, dan menjalankan berbagai fungsi dalam reaksi.
Konsep Asam-Basa Bronsted-Lowry
Menurut teori ini, suatu asam adalah molekul yang dapat memberikan proton dan basa adalah molekul yang dapat menerima proton seperti dalam persamaan berikut,
Asam                     H+ + Basa
Definisi dalam konsep ini adalah lebih bersifat umum, dan dapat dilustrasikan dengan fakta bahwa piridin adalah suatu basa menurut Bronsted, tetapi bukan menurut Arrhenius karena tidak dapat memberikan ion hidroksida. Persamaan diatas menunjukkan bahwa pada setiap asam berhubungan dengan suatu basa yang disebut dengan basa konjugasi, dan suatu basa berhubungan suatu asam yang dikenal dengan asam konjugasi.
Ionisasi Asam dan Basa
Kekuatan asam atau basa dapat ditentukan secara kuantitatif melalui pengukuran konstanta ionisasi. Kekuatan suatu asam adalah ukuran kecenderungannya memberikan proton. Tinjau ionisasi asam (HA) yang dapat dinyatakan dengan persamaan berikut,
HA + H2O                         H3O+ + A-
Untuk asam kuat, kesetimbangan ini akan bergeser ke kakanan secara efektif, sedangkan kesetimbangan dapat dipastikan terjadi pada asam lemah. Konstanta ionisasi (Ka) dapat dinyatakan sebagai


Konsep Asam-Basa Lewis
Lewis (1923) mengusulkan suatu teori asam-basa berdasarkan peranan pasangan elektron di dalam percobaan tertentu seperti reaksi netralisasi, reaksi penggantian/substitusi, dan katalisis. Menurut teori ini, asam didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menerima pasangan elektron dan basa adalah suatu zat yang dapat memberikan pasangan elektron. Konsep ini bersifat lebih umum dan mencakup lebih luas senyawa. Salah satunya adalah reaksi asam-basa berikut.
Kebasaan suatu senyawa tergantung pada kesedian pasangan elektronnya untuk disumbangkan. Trimetilamin lebih bersifat basa daripada amoniak akibat adanya efek dorongan elektron secara induksi dari gugus metil. Beberapa kategori senyawa-senyawa yang dapat digolongkan sebagai asam Lewis:
1. Senyawa-senyawa yang mempunyai orbital tak terisi secara sempurna, seperti aluminium klorida, boron trifluorida, dan seng klorida.
2. Senyawa-senyawa yang atom pusatnya dapat mengembangkan kulit valensinya untuk dapat menampung elektron lebih daripada delapan, seperti stanno klorida dan titanium klorida.
3. Semua ion-ion logam sederhana seperti Al+3, Fe+2, dan Ag+.
Pada dasarnya, konsep Lewis jauh lebih baik digunakan untuk membedakan antara asam dan basa tetapi masih mempunyai beberapa kelemahan. Pertama yang paling serius adalah asam protonik kuat seperti asam hidroklorida, asam sulfat, asam nitart, dan lain-lain tidak masuk dalam kelompok asam. Kedua adalah sulit untuk menandai skala kekuatan asam-basa berdasarkan definisi ini. Pada sisi lain, konsep Bronsted akan menjadi terbatas jika sistem pelarut dipertimbangkan secara luas.

Efek Penyamarataan
Asam-asam mineral seperti asam perklorat, asam hidroklorida, dan asam sulfat adalah asam kuat dan terionisasi sempurna di dalam larutan berpelarut air membentuk ion hidronium. Kekuatan keasaman setiap asam kuat disamaratakan dengan ion hidronium karena ion hidronium adalah asam yang paling kuat di dalam larutan encer berpelarut air. Hal yang harus diantisipasi adalah semua asam kuat dalam pelarut air mempunyai kekuatan keasaman yang sama, meskipun hal ini tidak benar. Hal inilah yag disebut dengan efek penyamarataan (levelling effect).
Asam Keras dan Basa Keras
Kemudahan terjadinya reaksi asam-basa tentu saja tergantung pada kekuatan asam dan basa yang bereaksi. Akan tetapi, kemudahan ini juga tergantung pada keterpenuhan kualitas lain yang disebut dengan “kekerasan” dan “kelunakan” asam atau basa. Kualitas ini tidak dapat diukur dengan tepat, namun hanya diuraikan secara kualitatif dengan ciri khas sebagai berikut:
Basa lunak. Atom-atom donornya berelektronegativitas rendah dan tinggi kemampuannya untuk terpolarisasi dan mudah untuk teroksidasi. Menarik elektron valensinya dengan lemah.
Basa keras. Atom-atom donornya berelektronegatif tinggi dan rendah kemampunya untuk terpolarisasi dan sulit untuk teroksidasi. Menarik elektron valensinya dengan kuat.
Asam lunak. Atom-atom penerimanya besar, muatan positifnya rendah, mengandung elektron tak berpasangan (p atau d) pada kulit valensinya. Tinggi kemampuannya untuk terpolarisasi dan rendah elektronegativitasnya.
Asam keras. Atom penerimanya kecil, muatan positifnya tinggi, tidak mengandung elektron tak berpasangan pada kulit valensinya. Rendah kemampuannya untuk terpolarisasi dan tinggi elektronegativitasnya. Asam dan basa dapat diurut (pendekatan) berdasarkan “keras” dan “lunaknya”. Sebagai contoh kelunakan basa menurun sesuai dengan urutan: I- > Br- > Cl- > F-; dan urutan CH3 - > NH2 - > OH- > F-. Akan tetapi kualitas tersebut tidaklah tepat sekali sehingga dipandang lebih baik apablia dikelompok ke dalam tiga golongan, yakni: keras, lunak, dan pertengahan.
Keasaman Asam Karbon
Keasaman karbon menggambarkan kecenderungan ikatan C-H untuk memindahkan proton kepada basa dan membentuk karbanion. Oleh karena ikatan C-H cukup dekat dengan homopolar dan mempunyai kecenderungan yang kecil untuk membentuk ikatan hidrogen maka umumnya tidak mudah melepaskan proton daripada ikatan O-H atau N-H. Karbon memperlihatkan keengganan menerima muatan negatif dibandingkan dengan unsur-unsur yang ada pada golongan berikutnya di dalam tabel periodik, dan dapat dikatakan bahwa anion alkil sederhana tidak bisa ada dengan bebas di dalam larutan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keasaman Karbon
Ada gunanya untuk menyimpulkan bahwa bentuk strukturlah yang memfasilitasi ionisasi asam karbon melalui penstabilan karbanion yang menjadi basa konjugasinya.


DAFTAR PUSTAKA

Firdaus. 2013. Laporan Hibah Penulisan Buku Ajar Mata Kuliah Kimia Organik Fisik II. Makkasar: Universitas Hasanuddin.
Arief, L.M. 2016. Pengolahan Limbah Industri. Yogyakarta: Andi.



Permasalahan yang timbul:
Bagaimana menentukan keasaman atau kebasaan suatu senyawa organik?

Mengapa konsep asam basa Lewis lebih mudah dalam menentukan keasaman dan kebasaan?

Sabtu, 21 Oktober 2017

KONTROL KINETIKA DAN TERMODINAMIKA DAN KURVA PROGRES REAKSI

KONTROL KINETIKA DAN TERMODINAMIKA DAN KURVA PROGRES REAKSI

Kinetika adalah suatu ilmu yang membahas tentang laju (kecepatan) dan mekanisme reaksi. Berdasarkan penelitian yang mula – mula dilakukan oleh Wilhelmy terhadap kecepatan inversi sukrosa, ternyata kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi / tekanan zat – zat yang bereaksi. Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi atau tekanan dari produk atau reaktan terhadap waktu.
Berdasarkan jumlah molekul yang bereaksi, reaksi terdiri atas :
1.       Reaksi unimolekular : hanya 1 mol reaktan yang bereaksi
Contoh :  N2O5   –>  N2O4  +  ½ O2
2.       Reaksi bimolekular : ada 2 mol reaktan yang bereaksi
Contoh :  2HI  –>  H2  +  I2
3.       Reaksi termolekular : ada 3 mol reaktan yang bereaksi
Contoh :  2NO  +  O2  –>  2NO2
Termodinamika untuk perubahan keadaan diperlukan untuk mendeskripsikan ikatan kimia, sruktur dan reaksi. Pengetahuan termodinamika sederhana sangat bermanfaat untuk memutuskan apakah struktur suatu senyawa akan stabil, kemungkinan kespontanan reaksi, perhitungan kalor reaksi, penentuan mekanisme reaksi dan pemahaman elektrokimia.
Kontrol termodinamika atau kinetika dalam reaksi kimia dapat menentukan komposisi campuran produk reaksi ketika jalur bersaing mengarah pada produk yang berbeda serta selektivitas dari pengaruh kondisi reaksi tersebut. Kondisi reaksi seperti suhu, tekanan atau pelarut mempengaruhi jalur reaksi; maka dari itu kontrol termodinamik maupun kinetik adalah satu kesatuan dalam dalam suatu reaksi kimia.Kedua kontrol reaksi ini disebut sebagai faktor termodinamika dan faktor kinetika, dapat diuraikan sebagai berikut :
1.Faktor termodinamika (adanya stabilitas realtif dari produk)
Pada suhu tinggi, reaksi berada di bawah kendali termodinamika (ekuilibrium, kondisi reversibel) dan produk utama berada dalam sistem lebih stabil.
2.Faktor kinetik (kecepatan pembentukan produk)
Pada temperatur rendah, reaksi ini di bawah kontrol kinetik (tingkat, kondisi irreversible) dan produk utama adalah produk yang dihasilkan dari reaksi tercepat.
Ada banyak hal dalam mana suatu senyawa di bawah kondisi reaksi yang diberikan dapat mengalami reaksi kompotisi menghasilkan produk yang berbeda.
Gambar diatas memperlihatkan profil energi-bebas untuk suatu reaksi dalam mana B lebih stabil secara termodinamika daripada C (_G lebih rendah), tapi C terbentuk lebih cepat (_G‡ lebih rendah). Jika tidak ada satupun reaksi yang revesibel maka C akan terbentuk lebih banyak karena terbentuk lebih cepat. Produk tersebut dikatakan terkontrol secara kinetik (kinetically controlled). Akan tetapi, jika reaksi adalah reversibel maka hal tersebut tidak menjadi penting. jika proses dihentikan sebelum kesetimbangan tercapai maka reaksi akan dikontrol oleh kinetik karena akan lebih banyak diperoleh produk yang cepat terbentuk.
  Akan tetapi jika reaksi dibiarkan sampai mendekati kesetimbangan maka produk yang akan dominan adalah B. di bawah kondisi tersebut, C yang mula-mula terbentuk akan kembali ke A, sementara B yang lebih stabil tidak berkurang banyak. Maka dikatan bahwa produk terkontrol secara termodinamik (thermodynamically controlled). Tentu saja Gambar tersebut tidak menggambarkan semua reaksi dalam mana senyawa A dapat memberikan dua produk. Di dalam banyak hal, produk yang lebih stabil adalah juga merupakan produk lebih cepat terbentuk. Di dalam hal yang demikian, produk kontrol kinetik adalah juga produk kontrol termodinamika.
 Persyaratan Kinetik Reaksi
Reaksi yang dapat berlangsung tidak hanya karena mempunyai ∆negatif. ∆yang negatif memang suatu hal yang penting tapi bukan suatu persyaratan yang cukup untuk berlangsungnya suatu reaksi secara spontan. Sebagai contoh, reaksi antara H2 dengan O2 untuk menghasilkan H2O mempunyai ∆negatif, tapi campuran H2 dan O2dapat disimpan pada suhu kamar selama berabad-abad tanpa adanya reaksi yang berarti.
Untuk terjadinya reaksi maka variabel energi bebas aktivasi ∆G‡ harus ditambahkan. Situasi ini diilustrasikan dalam Gambar 1 yang merupakan profil energi untuk reaksi satu tahap tanpa spesies-antara. Dalam gambar seperti ini, absis menandai kemajuan reaksi. ∆Gf ‡ adalah energi bebas aktivasi untuk reaksi maju.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh25H7iTZRGigcJBiOjQYZ1Nv6rfQRe56VoQIF-VWdg3nFRD5YJcgYrLKoa4JXX_J2dLQn6Xt6I_vkM56jLWGjHmrc8a31Eu3kfUOswNUr9lXKb9jjQJPZ2wiUEuCxbHcZbWmb9nYx1Dw/s1600/1.jpg
Gambar 1. Profil energi bebas reaksi tanpa spesies-antara di mana produk energy bebas produk lebih rendah daripada energi bebas reaktan
Jika reaksi antara dua molekul atau lebih telah maju ke titik yang berkaitan dengan puncak kurva maka digunakan istilah keadaan transisi untuk posisi inti dan elektron spesies yang ada pada keadaan ini. Keadaan transisi memiliki geometri yang terbatas dan distribusi muatan tapi tidak memiliki keberadaan yang terbatas. Sistem pada titik ini disebut kompleks teraktivasi.
Di dalam teori keadaan transisi, starting material dan kompleks teraktivasi dipertimbangkan ada dalam kesetimbangan dengan tetapan kesetimbangan K‡. Menurut teori ini, semua kompleks teraktivasi terus berubah menjadi produk dengan kecepatan yang sama sehingga tetapan kecepatan reaksi hanya tergantung pada posisi kesetimbangan antara starting material dengan kompleks teraktvasi, yaitu nilai K‡. ∆G‡ dihubungkan ke K‡ dengan persamaan.
G‡ = -2,3RT log K
sehingga suatu nilai ∆G‡ yang lebih tinggi adalah disertai dengan suatu tetapan kecepatan yang lebih kecil. Kecepatan hampir semua reaksi meningkat dengan meningkatnya suhu karena penambahan energi dapat membantu molekul melewati rintangan energi aktivasi. Sejumlah reaksi tidak mempunyai energi bebas aktivasi sama sekali, berarti K‡ tidak terbatas dan hampir semua tumbukan mengarah kepada reaksi. Proses seperti itu dikatakan terkontrol difusi (diffusion-controlled). Seperti halnya ∆G, ∆G‡ terbentuk dari komponen entalpi dan entropi.
G‡ = ∆H‡ - TS
Entalpi aktivasi (∆H‡) adalah perbedaan energi ikatan (meliputi energi tegangan, resonansi dan solvasi) antara senyawa starting material dengan keadaan transisi. Di dalam kebanyakan reaksi, ikatan-ikatan telah putus atau putus secara parsial pada sesaan transisi tercapai; energi yang penting untuk hal ini adalah ∆H‡. Adalah benar bahwa tambahan energi akan disuplai oleh pembentukan ikatan baru, tapi jika hal ini terjadi setelah keadaan transisi maka hal ini hanya dapat berpengaruhi pada ∆dan bukan ∆H‡.
Persyaratan Termodinamik untuk Reaksi
Untuk terjadinya reaksi secara spontan, energi bebas produk harus lebih rendah daripada energi bebas reaktan, yakni ∆harus negatif. Reaksi dapat saja berlangsung melalui jalan lain, tapi tentu saja hanya jika energi bebas ditambahkan. Seperti halnya air di atas permukaan bumi, air hanya mengalir ke bawah dan tidak pernah mengalir ke atas (meskipun air dapat dibawa ke atas atau menggunakan pompa), molekul-molekul mencari energi potensial yang paling rendah mungkin. Energi bebas terbuat dari dua komponen yaitu entalpi dan entropi S. Kuantitas tersebut dihubungkan dengan persamaan:
= ∆– TS
Perubahan entalpi dalam suatu reaksi terutama adalah perbedaan energi ikat (meliputi energy resonansi, tegangan, dan solvasi) antara reaktan dengan produk. Perubahan entalpi dapat dihitung dengan menjumlahkan semua energi ikatan yang putus, kemudian dikurangi dengan jumlah energi semua ikatan yang terbentuk, dan ditambahkan dengan perubahan energi resonansi, tegangan, atau energi solvasi. Perubahan entropi menyatakan ketidak teraturan atau kebebasan sistem. Semakin tidak teratur suatu system maka semakin tinggi entropinya. Kondisi yang lebih disukai di alam adalah entalpi rendah dan entropi tinggi; dan di dalam sistem reaksi, entalpi spontan menurun sedangkan entropi spontan meningkat.
Bagi kebanyakan reaksi, pengaruh entropi adalah kecil dan entalpi yang paling utama menentukan apakah reaksi dapat terjadi secara spontan. Akan tetapi dalam reaksi jenis tertentu, entropi adalah penting dan dapat mendominasi entalpi. Berikut ini akan dibicarakan beberapa contoh tentang hal tersebut.
1. Umumnya entropi cairan lebih rendah daripada gas karena molekul gas mempunyai kebebasan dan ketidak-teraturan yang lebih besar. Tentu saja padatan lebih rendah lagi. Suatu reaksi dalam mana semua reaktannya adalah cairan dan satu atau lebih produknya adalah gas, maka secara termodinamika lebih disukai karena entropi yang meningkat; konstanta kesetimbangan reaksi ini akan lebih tinggi daripada reaksi yang produknya tidak ada yang berupa gas.
2. Di dalam suatu reaksi di mana jumlah molekul produk sebanding dengan molekul reaktannya (contoh, A + B → C + D), pengaruh entropi biasanya kecil; tapi jika jumlah molekulnya meningkat (contoh, A → B + C), ada tambahan entropi yang besar karena jika lebih banyak molekul maka lebih banyak pula kemungkinan susunan dalam ruang. Reaksi di mana terjadi pemecahan molekul menjadi dua atau lebih bagian maka secara termodinamika lebih disukai karena faktor entropi. Sebaliknya, reaksi dalam mana jumlah molekul produk lebih sedikit daripada molekul reaktannya akan memperlihatkan penurunan entropi, dan dalam hal seperti itu maka harus ada penurunan entalpi yang besar juga untuk mengatasi perubahan entropi yang tidak diinginkan itu.
3. Meskipun reaksi di mana terjadi pembelahan molekul menjadi dua atau lebih adalah lebih disukai karena efek entropi, tapi banyak potensi reaksi pembelahan tidak terjadi karena peningkatan entalpi yang sangat besar. Sebagai contoh pembelahan etana menjadi dua radikal metil. Dalam hal ini satu ikatan 79 kkal/mol harus putus, dan tidak ada pembentukan ikatan untuk mengimbangi peningkatan entalpi ini. Akan tetapi etana dapat dipecah pada suhu tinggi, hal sesuai dengan prinsip entropi menjadi lebih penting dengan meningkatnya suhu, seperti yang tampak sangat jelas dari persamaan ∆= ∆– TS. Suku entalpi tidak tergantung pada suhu, sedangkan suku entropi berbanding langsung dengan suhu mutlak.
4. Molekul rantai terbuka mempunyai entropi yang lebih besar daripada molekul lingkar karena lebih banyak konformasinya. Pembukaan cincin berarti penambahan entropi dan penutupan berarti pengurangan entropi.


Permasalahan yang timbul:
          Bagaimana pengaruh kontrol kinetika dan termodinamika atau suhu terhadap energi yang didapatkan?



Daftar Pustaka
Pine, S. H., Hendrickson, J. B., Cram, D. J dan Hammond, G. S. 1988. Kimia Organik 2 Terbitan Keempat. Bandung: ITB.
Riswiyanto, S. 2009. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.


Sitorus, M. 2008. Kimia Organik Fisik. Yogyakarta: Graha Ilmu.